Beranda | Artikel
Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 3)
Selasa, 2 Juli 2019

Baca pembahasan sebelumnya Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 2)

Dua Sikap Ekstrim dan Satu Sikap Pertengahan dalam Menyikapi Thibb Nabawi

Dalam menyikapi pengobatan dengan thibb nabawi, kita dapati sikap dua kelompok masyarakat yang kurang tepat.

Pertama, mereka yang belum mengenal bentuk-bentuk pengobatan seperti ini. Hal ini merupakan sikap yang kurang tepat, karena secara tidak langsung menunjukkan kurangnya perhatian mereka dalam membaca dan menelaah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membicarakan tentang jenis-jenis thibb nabawi dan bahkan sebagiannya tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim? Oleh karena itu, jika ada sebagian di antara kita yang tidak mengenal al-hijamah, habbatus sauda, atau metode thibb nabawi lainnya, bisa jadi hal ini menunjukkan kurangnya perhatian mereka terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kondisi yang lebih parah adalah mereka yang mengenal thibb nabawi, namun kemudian tidak beriman, tidak percaya, disertai sikap mencibir dan merendahkan pengobatan thibb nabawi. Hal ini pun kurang tepat. Karena konsekuensinya, berarti mendustakan banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini.

Baca Juga: Bolehkah Mempelajari Ilmu Kedokteran Dari Buku Orang Kafir?

Ke dua, mereka yang berlebih-lebihan dalam mendudukkan thibb nabawi. Bagi mereka, thibb nabawi adalah satu-satunya bentuk pengobatan yang harus dipilih. Selain thibb nabawi adalah pengobatan yang salah, tidak “nyunnah”, dan tidak boleh ditempuh, apa pun dan bagaimana pun kondisi penyakit yang mereka derita. Atau menjadikan thibb nabawi sebagai standar apakah seseorang itu termasuk ahlus sunnah ataukah bukan. Yang berobat hanya dengan thibb nabawi berarti ahlus sunnah tulen, sedangkan mereka yang berobat dengan pengobatan medis berarti kurang “nyunnah” atau diragukan ke-ahlus-sunnah-annya.

Di antara sikap dan perilaku yang muncul dari masyarakat kelompok ke dua ini antara lain:

  1. Menganjurkan dilakukannya tindakan penyuntikan sari atau ekstrak habbatus sauda atau air zam zam, baik secara langsung melalui jarum suntik atau secara tidak langsung melalui cairan infus. Padahal, tindakan ini berbahaya dan dapat mengancam nyawa.
  2. Lebih memilih thibb nabawi tanpa memperhatikan kondisi penyakit yang diderita. Padahal, penyakit tersebut memerlukan tindakan pembedahan segera (karena ada kelainan anatomis), atau memerlukan penggantian cairan tubuh secara darurat (misalnya dehidrasi berat karena diare), dan kondisi-kondisi lainnya.
  3. Mengklaim bahwa thibb nabawi dapat menggantikan fungsi vaksin. Cukup diberikan madu, kurma, dan habbatus sauda, itu sudah berfungsi sebagai vaksin.
  4. Menganggap tahnik pada bayi baru lahir adalah imunisasi alami, bahkan lebih jauh dari itu, dapat berfungsi sebagai media transfer kesalihan seseorang.
  5. Mengklaim bahwa ibu-ibu yang akan melahirkan dan dalam kondisi gawat darurat dan harus dilakukan tindakan operasi sesar, bisa diganti dengan diruqyah dan tidak perlu dioperasi.

Contoh-contoh di atas menunjukkan sikap berlebih-lebihan dalam menyikapi pengobatan dengan thibb nabawi, apalagi hal ini kemudian dihubung-hubungkan dengan tingkat keimanan seseorang. Mereka yang hanya mau melakukan ruqyah dianggap paling tinggi imannya, sedangkan mereka yang menempuh pengobatan medis dianggap kurang rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala.

Baca Juga: Bolehkah Apoteker Memberi Obat Tanpa Resep Dokter?

Sikap pertama dan ke dua di atas adalah sikap yang kurang tepat.

Ke tiga, sikap yang terbaik adalah sikap pertengahan, yaitu tidak bersikap meremehkan (apalagi mendustakan) dan tidak pula bersikap berlebih-lebihan. Yaitu, kita beriman dengan hadits-hadits yang berbicara thibb nabawi. Namun, kita dudukkan thibb nabawi secara proporsional. Artinya, kita juga menempuh pengobatan medis jika memang terbukti bermanfaat. Sebagaimana dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meminta tolong kepada tabib untuk mengobati sahabat beliau radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit. Dan sikap ini pula yang dicontohkan oleh para ulama rahimahumullahu Ta’ala sebagaimana penjelasan selanjutnya.

Baca Juga: Lebih Memilih Thibbun Nabawi daripada Pengobatan Dokter ?

Contoh Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Ulama dalam Menyikapi Metode Pengobatan Orang Kafir

Mengapa kita mengatakan bahwa sikap ke tiga, yaitu sikap pertengahan, merupakan sikap yang terbaik berkaitan dengan thibb nabawi? Hal ini karena kita dapati contoh teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan thibb nabawi ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber referensi utama kita dalam mengenal dan mempelajari thibb nabawi. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata juga bersikap terbuka dengan metode pengobatan atau praktik-praktik kesehatan yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

Dari Jadamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا

“Sungguh aku berkeinginan untuk melarang kalian dari melakukan ‘al-ghilah’ (yaitu, menyetubuhi istri ketika sedang menyusui anaknya). Namun aku melihat (orang-orang) Romawi dan Persia, mereka melakukan ‘al-ghilah’ terhadap anak mereka, dan tidak membahayakan (anak-anak) mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1442)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang perbuatan menyetubuhi istri ketika menyusui berdasarkan pengetahuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap praktek dan pengalaman orang-orang Romawi dan Persia yang notabene adalah bangsa non-muslim.

Baca Juga: Haruskah Kedokteran Modern dan Thibbun Nabawi Dipertentangkan?

Dalam hadits yang lain, dari Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

“Pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku. Beliau meletakkan tangannya di antara dua buah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 3875) [1]

Meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ramuan obat yang sebaiknya diminum, beliau tidak meracik dan mengobati sahabatnya sendiri. Beliau meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar menemui ke Al-Harits bin Kalidah yang merupakan seorang tabib.

Demikian pula teladan dari ibunda kaum muslimin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mempelajari berbagai jenis metode pengobatan. Hisyam bin ‘Urwah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

يَا أُمَّتَاهُ لَا أَعْجَبُ مِنْ فِقْهِكِ أَقُولُ زَوْجَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ وَلَا أَعْجَبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالشِّعْرِ وَأَيَّامِ النَّاسِ أَقُولُ: ابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ وَكَانَ أَعْلَمَ النَّاسِ وَلَكِنْ أَعْجَبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالطِّبِّ كَيْفَ هُوَ؟ وَمِنْ أَيْنَ هُوَ؟ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: فَضَرَبَتْ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَتْ: أَيْ عُرَيَّةُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْقَمُ فِي آخِرِ عُمُرِهِ فَكَانَتْ تَقْدُمُ عَلَيْهِ الْوُفُودُ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ فَتَنْعَتُ لَهُ فَكُنْتُ أُعَالِجُهُ فَمِنْ ثَمَّ

“Wahai ibu (ummul mukminin), saya tidak heran ketika Engkau menguasai ilmu fiqh karena Engkau adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak Abu Bakar. Saya juga tidak heran ketika Engkau pandai ilmu sya’ir dan sejarah manusia (Arab) karena Engkau adalah anak Abu Bakar dan Abu Bakar adalah manusia yang paling pandai (mengenai sya’ir dan sejarah Arab, pen.).

Baca Juga: Inilah Keutamaan Air Zam-Zam

Akan tetapi, saya heran ketika Engkau mengusasi ilmu pengobatan (kedokteran), bagaimana dan dari mana Engkau mempelajarinya?

Kemudian ia menepuk kedua pundakku dan berkata, “Wahai Urwah yunior, setiap utusan kabilah yang datang dari berbagai penjuru untuk mengobati sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada akhir hayatnya, aku deskripsikan sakit yang diderita Nabi kepada dokter yang datang lantas aku yang menjelaskan resep yang diberikan dokter tersebut. Dengan hal ini aku menguasai ilmu kedokteran.” (Hilyatul Auliya’, 2: 50)

Kisah di atas menguatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mempelajari berbagai model pengobatan dari berbagai sumber, meskipun beliau sendiri adalah di antara sahabat yang paling dalam ilmunya terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula sikap yang dicontohkan oleh para ulama kita rahimahumullah. Kita dapati perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang memuji ilmu kedokteran Yahudi dan Nasrani. Padahal mereka adalah orang-orang kafir.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu tentang halal dan haram (yaitu ilmu agama, pen.)- yang lebih berharga daripada ilmu kedokteran. Akan tetapi, ahli kitab telah mengalahkan kita.(Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 528)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pun menyesalkan kaum muslimin yang menyia-nyiakan dan lalai untuk belajar ilmu kedokteran. Beliau mengatakan,

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

“Mereka (umat Islam) telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (yang beliau maksud adalah ilmu kedokteran, pen.) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani. (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 528)

Baca Juga: Hukum Meruqyah dengan Air Zamzam

Tidak kita ragukan bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah ulama yang memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan thibb nabawi. Dan jika menurut beliau itu sudah cukup, lalu untuk apa beliau memuji ilmu kedokteran Yahudi dan Nasrani, dan bahkan menyesalkan kondisi kaum muslimin yang jauh tertinggal dalam bidang ilmu kedokteran dibandingkan mereka?

Sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa sikap terbaik adalah sikap pertengahan. Yaitu kita beriman dengan keutamaan thibb nabawi sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan tetap bersikap proporsional. Di antaranya dengan bersikap terbuka terhadap metode pengobatan yang dikembangkan ilmu kedokteran medis saat ini, selama tidak menyelisihi hukum-hukum syariat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أرى أن يجمع الإنسان بين هذا وهذا ولا منافاة بأن يجمع بين الرقية الشرعية وكذلك الأدوية الحسية ولا مانع

“Saya berpendapat hendaknya manusia menggabungkan antara ini (ruqyah syar’iyyah, pen.) dan ini (ilmu pengobatan, pen.). Tidak ada pertentangan dan penghalang dalam menggabungkan ruqyah syar’iyyah dan ilmu pengobatan.(Al-Irsyaad li Thabiibil Muslim, hal. 14) [2]

Beliau rahimahullah juga berkata,

الأمراض النفسية كثيراً ما تستعصي على الأطباء إذا عالجوها بالأدوية الحسية، ولكن دواؤها بالرقية ناجع ومفيد ، وكذلك الأمراض العقلية، تنفع فيها الأدوية الشريعة وقد لا تنفع فيها الأدوية الحسية، لذلك أريد منكم أيها الأخوة أن تلاحظوا هذا وإذا أمكنكم أن تجمعوا بين الدواءين فهو خير، أي الحسي والشرعي، حتى تصرفوا قلوب المرضى إلى التعلق بالله عزوجل وآياته، وحينئذ أحيلكم إلى الكتب المؤلفة في هذا الشأن، أن تطالعوها وتحفظوها وترشدوا إليها المرضى، لأن تعلق المريض بالله عز وجل له أثر قوي في إزالة المرض أو تخفيف المرض

“Penyakit kejiwaan itu banyak, yang tidak mampu diobati oleh para dokter dengan pengobatan fisik. Akan tetapi, pengobatan dengan ruqyah akan berhasil dan bermanfaat. Begitu juga penyakit akal, terkadang pengobatan syar’i akan bermanfaat, namun pengobatan fisik tidak mendatangkan manfaat.

Oleh karena itu, aku menginginkan kalian saudara-saudaraku (para dokter) untuk memperhatikan hal ini. Dan jika memungkinkan bagi kalian untuk menggabungkan kedua jenis pengobatan ini, tentu lebih baik, yaitu pengobatan fisik dan pengobatan syar’i. Sehingga hal ini akan mendorong kalian untuk mempelajari buku-buku yang membahas ruqyah, menelaah, menghapal, dan mengarahkan orang sakit untuk membaca buku ruqyah. Bergantungnya hati orang sakit kepada Allah Ta’ala memiliki pengaruh yang kuat untuk menghilangkan atau meringankan penyakit.” (Al-Irsyaad li Thabiibil Muslim, hal. 14)

Semoga dengan penjelasan ini dapat membuka ilmu dan pengetahun saudara-saudara kami yang masih berlebih-lebihan dalam menyikapi thibb nabawi.

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Puri Gardenia, 26 Rajab 1440/2 April 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/47429-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-3.html